Seorang teman saya betah bekerja untuk sebuah perusahaan keluarga selama 20 tahun. Kita kenal bahwa perusahaan keluarga sering mempunyai kebijakan yang “ajaib” berdasarkan filosofi dan prinsip keluarga, atau bahkan lebih sulit lagi, berdasarkan mood-nya owner perusahaan. Ketika ditanya, apa yang bisa membuatnya bertahan di lingkungan “family business” begitu, ia menjawab dengan santai, “Profesional aja…” Saat digali lebih jauh apa maksud istilah professional, ia menjawab, “Semua yang saya lakukan, baik pemecahan masalah, penilaian, pengambilan keputusan, tetap saya dasarkan pada kaidah profesi saya, kode etik, keahlian terkini, dan integritas yang kuat”.
Pertanyaan seputar defenisi atau ukuran yang tepat dari “being professional” banyak sekali beredar. Di seminar-seminar, sering kali saya perlu bernafas dalam sebelum mendeskripsikan profesionalitas dengan tepat, karena sulitnya mencari dasar penilaian professional atau tidak.
Mencetak Seorang yang Pro
Kita sama-sama tahu pendidikan di Indonesia berusaha mencetak para professional semenjak D1,D2,D3, Sarjana, bahkan Sarjana Plus alias sarjana profesi. Sayangnya beum ada data berapa banyak lembaga yang menyadari bahwa profesionalitas itu juga menyangkut sikap dalam berpraktik, cara mengambil keputusan, cara berpraktik dalam kegiatan kerja sehari-hari, disamping ketrampilan standar. Pada beberapa profesi yang menyangkut keselamatan jiwa manusia langsung seperti kedokteran, kode etik profesi memang sangat rinci, sehingga kita mudah memisahkan antara dokter professional dan tidak. Di lain pihak, bagaimana menentukan manajer, sekretaris, penyiar radio, yang professional?
Bila kita diminta menyebutkan spesifikasi manajer yang professional, kita bisa segera menyebutkan kemampuan menjalankan suatu proses, secara “compliant”, gesit, dan tidak ragu-ragu, selain juga tahu bagaimana “fixing problem” bila terjadi kemacetan di dalamnya. Berarti, untuk menelurkan seorang professional, seorang pendidik yang baik perlu menyempatkan diri untuk meng-“coach”, memoles “trik”, mengetes integritas, dan melatih keteguhan hati di samping mengembangkan keterampilannya.
Ujian Profesionalitas
Bila kita menemukan situasi dimana profesionalitas diuji, rasa kagum pastilah tumbuh di benak kita. Katakanlah seorang supir yang trampil sekali mencari celah atau jalan tikus, hafal jalanan, tidak pernah lupa mengisi oli, senantiasa memakai seat belt, mesin mobilnya bersih, melakukan kir dan service pada waktunya, dan tidak “kumaha juragan wae” bila berbantah tentang suatu berkenaan dengan mobil, rambu, dan penyetiran.
Sikap professional supir ini tentu saja tidak cukup didapat dari keterampilan atau sertifikasi, dalam hal ini terasa betul diselimuti dengan sikap positif dan tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan secara benar dan beretika, memberi ‘nilai tambah’, berseni, menimbulkan kepuasan dan kenyamanan pada orang lain yang bekerja dengannya atau berada disekitarnya. Hanya bila individu siap dan terlatih berbenturan dengan berbagai situasi sulit, tidak lari dari tantangan dan terbuka untuk belajar dan mengasah dirilah sikap bisa tertanam.
Memenangkan Kode Etik
Hal yang tidak ketinggalan penting dalam professionalitas adalah apakah setiap individu bisa menjalankan profesinya dengan etis. Tahu apa yang tidak boleh dilakukan, walaupun dia bisa. Sebut saja contoh, seorang akuntan yang mengganti angka atau tanggal pemasukan data, seorang ahli hukum yang bernegosiasi dengan pengacara lawan untuk memenangkan pihak tertentu, seorang dokter yang “coba-coba” dalam mengobati pasien, seorang bankir melewatkan salah satu persyaratan “risk management” dalam pelepasan kredit. Professionalitas itu semakin teruji justru ketika individu, tergoda, “diperintah” atau “dipaksa” keadaan untuk berbelok dari kaidah profesi yang benar.
Semangat korps profesi, rasanya bagaimanapun masih tetap tertanam dalam benak setiap professional, sehingga kita sering sedih kalau teman seprofesi kita tiba-tiba melakukan tindakan yang tidak professional. Seorang dokter, misalnya, akan seolah patah hati bila mendengar bahwa temannya melakukan malpraktik. Demikian pula para arsitek, akan segera membicarakan teman yang salah desain atau men”charge” terlalu mahal, atau apapun yang sebetulnya dirasakan menyalahi kode etik profesi. Dengan demikian, setiap pertimbangan untuk mengambil tindakan, memang perlu memenangkan kode etik, yang akan membangkitkan kebanggaan dari rasa profesionalisme.
Harga dari Profesional
Pertanyaan tentang apakah seseorang individu pekerja “pantas dibayar” atau tidak, dapat kita “benchmark” dari para petenis, pebasket, dan pemain bola. Dia akan disebut pro, bukan amatir, bila “ada harganya” dan dibayar karena kejagoan atau “showmanship”nya oleh komunitas bisnisnya. Seorang dokter bisa saja amatir, “underpaid”, sebaliknya juga bisa “worth paying” atau “overprized”. Ini semua ditentukan oleh pelanggan, “employer”, komunitas profesinya sendiri dan masyarakat yang lebih luas. Rasanya ini berlaku bagi setiap profesi :perlu ada bukti nyata untuk membuat berharga.
Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD
Soft Skills Training
Monday, December 17, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment