Glitter Words

Monday, December 17, 2007

Profesional

Seorang teman saya betah bekerja untuk sebuah perusahaan keluarga selama 20 tahun. Kita kenal bahwa perusahaan keluarga sering mempunyai kebijakan yang “ajaib” berdasarkan filosofi dan prinsip keluarga, atau bahkan lebih sulit lagi, berdasarkan mood-nya owner perusahaan. Ketika ditanya, apa yang bisa membuatnya bertahan di lingkungan “family business” begitu, ia menjawab dengan santai, “Profesional aja…” Saat digali lebih jauh apa maksud istilah professional, ia menjawab, “Semua yang saya lakukan, baik pemecahan masalah, penilaian, pengambilan keputusan, tetap saya dasarkan pada kaidah profesi saya, kode etik, keahlian terkini, dan integritas yang kuat”.
Pertanyaan seputar defenisi atau ukuran yang tepat dari “being professional” banyak sekali beredar. Di seminar-seminar, sering kali saya perlu bernafas dalam sebelum mendeskripsikan profesionalitas dengan tepat, karena sulitnya mencari dasar penilaian professional atau tidak.

Mencetak Seorang yang Pro
Kita sama-sama tahu pendidikan di Indonesia berusaha mencetak para professional semenjak D1,D2,D3, Sarjana, bahkan Sarjana Plus alias sarjana profesi. Sayangnya beum ada data berapa banyak lembaga yang menyadari bahwa profesionalitas itu juga menyangkut sikap dalam berpraktik, cara mengambil keputusan, cara berpraktik dalam kegiatan kerja sehari-hari, disamping ketrampilan standar. Pada beberapa profesi yang menyangkut keselamatan jiwa manusia langsung seperti kedokteran, kode etik profesi memang sangat rinci, sehingga kita mudah memisahkan antara dokter professional dan tidak. Di lain pihak, bagaimana menentukan manajer, sekretaris, penyiar radio, yang professional?

Bila kita diminta menyebutkan spesifikasi manajer yang professional, kita bisa segera menyebutkan kemampuan menjalankan suatu proses, secara “compliant”, gesit, dan tidak ragu-ragu, selain juga tahu bagaimana “fixing problem” bila terjadi kemacetan di dalamnya. Berarti, untuk menelurkan seorang professional, seorang pendidik yang baik perlu menyempatkan diri untuk meng-“coach”, memoles “trik”, mengetes integritas, dan melatih keteguhan hati di samping mengembangkan keterampilannya.

Ujian Profesionalitas
Bila kita menemukan situasi dimana profesionalitas diuji, rasa kagum pastilah tumbuh di benak kita. Katakanlah seorang supir yang trampil sekali mencari celah atau jalan tikus, hafal jalanan, tidak pernah lupa mengisi oli, senantiasa memakai seat belt, mesin mobilnya bersih, melakukan kir dan service pada waktunya, dan tidak “kumaha juragan wae” bila berbantah tentang suatu berkenaan dengan mobil, rambu, dan penyetiran.
Sikap professional supir ini tentu saja tidak cukup didapat dari keterampilan atau sertifikasi, dalam hal ini terasa betul diselimuti dengan sikap positif dan tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan secara benar dan beretika, memberi ‘nilai tambah’, berseni, menimbulkan kepuasan dan kenyamanan pada orang lain yang bekerja dengannya atau berada disekitarnya. Hanya bila individu siap dan terlatih berbenturan dengan berbagai situasi sulit, tidak lari dari tantangan dan terbuka untuk belajar dan mengasah dirilah sikap bisa tertanam.

Memenangkan Kode Etik
Hal yang tidak ketinggalan penting dalam professionalitas adalah apakah setiap individu bisa menjalankan profesinya dengan etis. Tahu apa yang tidak boleh dilakukan, walaupun dia bisa. Sebut saja contoh, seorang akuntan yang mengganti angka atau tanggal pemasukan data, seorang ahli hukum yang bernegosiasi dengan pengacara lawan untuk memenangkan pihak tertentu, seorang dokter yang “coba-coba” dalam mengobati pasien, seorang bankir melewatkan salah satu persyaratan “risk management” dalam pelepasan kredit. Professionalitas itu semakin teruji justru ketika individu, tergoda, “diperintah” atau “dipaksa” keadaan untuk berbelok dari kaidah profesi yang benar.
Semangat korps profesi, rasanya bagaimanapun masih tetap tertanam dalam benak setiap professional, sehingga kita sering sedih kalau teman seprofesi kita tiba-tiba melakukan tindakan yang tidak professional. Seorang dokter, misalnya, akan seolah patah hati bila mendengar bahwa temannya melakukan malpraktik. Demikian pula para arsitek, akan segera membicarakan teman yang salah desain atau men”charge” terlalu mahal, atau apapun yang sebetulnya dirasakan menyalahi kode etik profesi. Dengan demikian, setiap pertimbangan untuk mengambil tindakan, memang perlu memenangkan kode etik, yang akan membangkitkan kebanggaan dari rasa profesionalisme.

Harga dari Profesional
Pertanyaan tentang apakah seseorang individu pekerja “pantas dibayar” atau tidak, dapat kita “benchmark” dari para petenis, pebasket, dan pemain bola. Dia akan disebut pro, bukan amatir, bila “ada harganya” dan dibayar karena kejagoan atau “showmanship”nya oleh komunitas bisnisnya. Seorang dokter bisa saja amatir, “underpaid”, sebaliknya juga bisa “worth paying” atau “overprized”. Ini semua ditentukan oleh pelanggan, “employer”, komunitas profesinya sendiri dan masyarakat yang lebih luas. Rasanya ini berlaku bagi setiap profesi :perlu ada bukti nyata untuk membuat berharga.

Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD
Soft Skills Training

Friday, August 3, 2007

Cerita Adji Belajar Naik Sepeda

Ini cerita minggu lalu ketika Adji sedang mencoba mengendarai sepeda roda dua (sebelumnya roda empat). Malam sebelumnya hal ini sudah dibicarakan bersama, kalau Aji pagi-pagi akan bangun dan belajar naik sepeda bareng, alhasil bersiaplah kita untuk memulai perjuangan ini. Berikut adalah tahapan pelaksanaan pekerjaanya :)

1. Langkah awal mengajari anak belajar naik sepedanya sendiri seperti biasa, mengikuti dari belakang dengan memegang sadel untuk menjaga keseimbangan tubuh biar tidak jatuh, untuk ini bersiaplah untuk mengeluarkan tenaga ekstra karna biasanya anak masih merasa menggunakan sepeda roda empatnya jadi kecepatan sepedanya sering membuat kita pontang panting.

2. Ingatkan untuk berusaha menjaga keseimbangan, bila merasa sepeda akan kekanan miringkan badan ke kiri begitu juga sebaliknya.

3. Sambil mengikuti dari belakang yang mendampingi perlu bisa merasakan juga bahwa posisi anak cukup stabil untuk dilepas, bila merasa posisi anak cukup aman, insyaAllah dengan Bismillah lepaskan pegangan sedikit demi sedikit karena akan mengatur keseimbangan sepedanya sendiri.

4. Motivasi anak dengan meyakinkan kalau dia bisa, karena Aji kemarin pesimis apakah dia bisa, yang terucap adalah "Aji kan masih TK Ma, yang sudah bisa kan anak SD" :) hmmm..kalau untuk ini pandai pandailah menceritakan senangnya bila sudah naik sepeda roda dua.

Alhamdulillah dengan ekstra kesabaran ditambah basah kuyup keringatan, serta terus memberi motivasi kepada Aji bahwa dia bisa, (dalam hati berbisik ya Allah tolong anakku) maka secara perlahan Aji mulai percaya diri untuk menjalankan sepedanya..ppfff..akhirnya..sepeda perlahan meluncur tanpa dipegangi Mama, dan yang ada Aji terheran-heran sendiri "Ma..Aji bisa ya..naik sepeda"..
Silahkan dicoba..pasti seru deh..

Jakarta, 15 Mei 2007
--Pengalaman Mama Aji (siswa Little Camel)--

Tuesday, February 27, 2007

peningkatan kemampuan math dan bahasa


KECERDASAN ANAK DALAM HAL KATA DAN ANGKA TERNYATA BISA DITUMBUHKAN DAN DILATIH MELALUI ANEKA KEGIATAN SEDERHANA




KECERDASAN ANAK DALAM HAL KATA DAN ANGKA TERNYATA BISA DITUMBUHKAN DAN DILATIH MELALUI ANEKA KEGIATAN SEDERHANA



Sebelum memulai kegiatan belajar bersama anak, sebaiknya kita pahami betul ’cara’ anak belajar. Hasil penelitian yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun menunjukkan bahwa anak-anak belajar :


¨ Sambil bermain : pada masa kanak-kanak, bermain sama dengan bekerja.


¨ Melalui pengalaman langsung : melihat, menyentuh, merasakan, mencium adalah bentuk pembelajaran dini terbaik.


¨ Dengan mengobrol.


¨ Dengan mencoba memecahkan masalah sungguhan.


¨ Dengan menyelidiki dan menjelajah. Kata kunci untuk itu adalah : ”Bagaimana kalau ...?”, ”Apa yang terjadi jika ...?”.



Oleh karena itu, kita bisa membantu anak dengan cara :


¨ Menjadi pendengar yang baik.


¨ Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bermutu, misalnya : Apa yang membuatmu berpikir begitu ? Apa lagi yang bisa kamu lakukan ? Bagaimana kamu bisa melakukan itu ? Bagian mana yang paling kamu sukai ? Dari mana kamu mendapatkan gagasan itu ?


¨ Tidak membantu jika anak tak melakukan sendiri. Biarkan mereka memutuskan sendiri (sekalipun kita harus mengikat tangan atau mengigit lidah sendiri).


¨ Tidak mengkritik.


¨ Bersabar.


¨ Menjadi pengamat yang baik.


¨ Menjadi pemandu sorak yang baik (cheer leader) untuk anak.


MENUMBUHKAN DAN MELATIH ’CERDAS KATA’ DAN ’CERDAS GAMBAR’


Sekarang kita bisa mulai melakukan aneka kegiatan untuk melejitkan word smart dan number smart anak.



KEGIATAN #1 : MENGAJAK BICARA. Inilah bentuk stimulasi paling sederhana dari latihan bahasa. Bai baru lahir sangat peka terhadap suara. Terbukti, saat mendengar suara keras ia akan menangis, sebaliknya saat mendengar musik lembut atau suara ibunya ia menjadi tenang. Dengan mengajak bicara, bayi mendapat ’contoh’ bunyi yang kemudian hari akan ia praktekkan dengan cara mengoceh (babbling). Ini adalah tonggak dimulainya ’keberbahasaan’ anak.


KEGIATAN #2 : MEMBACAKAN CERITA. Lakukan kapan saja kita sempat : Di perjalanan, saat menunggu di bandara, tiap anak akan tidur. Jika ada buku favorit anak, sesekali biarkan anak yang bercerita pada kita.



Media/teknik yang digunakan :


Buku dengan aneka bentuk, fungsi dan tema, misal : buku pop-up, scratch and sniff, touch and feel, ensiklopedi. Pilih buku dengan gambar menarik, berwarna cerah dengan outline hitam.



KEGIATAN #4 : MERANGKAI CERITA. Ajak anak memperhatikan ilustrasi di buku cerita. Sambil menunjukkan gambarnya, contohkan cara mengucapkan nama benda atau kegiatan, misalnya : ”Wah, ada pak polisi sedang naik mobil polisi!”


Media/teknik yang digunakan : Buku bergambar tanpa kata (picture book), potongan-potongan gambar dari majalah, kertas folio bekas yang masih bisa dipakai bagian belakannya.



KEGIATAN #3 : BERMAIN HURUF. Mulailah dari suara atau bunyi, bukan bentuk huruf. Misalnya, main tebak huruf A : Siapa yang namanya dimulai dengan huruf A ? Lalu sebutkan Ahmad, Ani, Andi, dll. Lanjutkan dengan nama buah yang dimulai dengan A : Anggur, apel, dll. Lakukan di mana saja : Di jalan (minta anak menemukan huruf A di papan reklame), ketika membaca buku (minta anak menemukan semua huruf A dalam buku tersebut).


Media/teknik yang digunakan : Mal huruf dari karton (warna dibedakan untuk konsonan dan vokal, supaya anak langsung mendapat informasi tentang perbedaan konsonan dan vokal).



KEGIATAN #5 : MENGENAL BENTUK GEOMETRI. Tunjukkan bentuk-bentuk geometri dari kertas atau dari kain yang kaku, atau puzzle geometris dari kayu yang dibeli dari toko mainan edukatif.


Media/teknik yang digunakan : Aneka bentuk geometri (masing-masing sepasang, supaya agar bisa disamakan).



KEGIATAN #6 : PENGENALAN POLA. Susunlah pola tertentu memakai kancing berwarna, misalnya pola ’biru kuning’, sebanyak dua buah. Lalu minta anak meneruskannya.


Media/teknik yang digunakan : aneka benda (jumlahnya harus cukup banyak) misalnya : Stik es krim warna-warni, gelas plastik tinggi-pendek, dll.



KEGIATAN #7 : MENGENALKAN KONSEP MATEMATIKA. Lakukan kapan saja. Saat belanja misalnya, ajarkan pengelompokkan : telur di rak telur, es krim di lemari pendingin. Di kegiatan sehari-hari, mintalah anak menata sepatu sesuai pasangannya, menghitung berapa pasang sepatu yang sudah disusun, dan menjawab pertanyaan, ”Kalau sepatu mama dipakai, sepatunya tinggal berapa pasang ?”


Media/teknik yang digunakan : Aneka bahan untuk mengenalkan konsep hubungan satu-satu, diambil, ditambah, dibagi, dll. EMMY SOEKRESNO (Edisi Depan : Kegiatan Belajar ’Brain-Based’ untuk Melejitkan ’Picture Smart’ dan ’Body Smart’).














































KEGIATAN


KETERANGAN


MEDIA/TEKNIK YANG DIGUNAKAN


Number Smart


Eksperimen sederhana di alam


Ajak anak : Mengenali aneka bentuk daun saat berjalan-jalan ke taman, memperhatikan tingkah burung tiap sore, memelihara ulat untuk melihat proses metamorfosa, mencampur baking soda dan cuka untuk menghasilkan gas yang dapat meluncurkan roket mainan.


Buku panduan Science for Kids, koneksi internet, kotak sains (berisi pinset, kaca pembesar, dll), buku bertema khusus (buku kupu-kupu, buku angin, dll).



Memecahkan masalah


Ajak anak melatih kemampuan memecahkan beragam masalah dengan memakai logika.


Pazel aneka tema (jumlah keping ditentukan sesuai kelompok umur), domino bergambar buah, binatang, dll.



Mengelompokkan benda


Ajak anak mengelompokkan macam-macam benda sederhana di rumah, sendok makan. kegiatan ini mengasah konsep logika dan matematika.


Aneka benda yang dikelompokkan : Sendok, garpu, kartu berwarna, kaos kaki, baju rumah, baju pergi, buku yang berukuran sama, dll.


Word Smart


Mengeksplorasi pikiran


Ajak anak melakukan olah pikir ringan : Bercakap-cakap yang menyangkut pola hubungan sebab akibat, perbandingan atau pengenalan bilangan, bermain teka-teki (binatang apa yang kulitnya loreng-loreng ? Apa yang termasuk binatang buas ? Kalau saat hujan ada matahari, habis hujan pasti ada apa ? Merangkai potongan gambar dan menceritakan hasil rangkaiannya.


Buku pertanyaan sains untuk anak, buku serial sains untuk anak (sebagai bahan diskusi), buku untuk menempel potongan gambar atau untuk corat-coret.



Diskusi


Ajak anak membahas : Hal-hal yang berhubungan dengan dirinya (Kenapa ia suka main boneka, kenapa tidak suka tempe, kenapa harus istirahat, dll), keadaan lingkungan, dll. Dengarkan jawabannya, lalu lanjutkan dengan pertanyaan yang lebih mendetail. Biarkan anak bertanya, dan jawablah sesuai tahap perkembangannya.


Buku bertema menarik untuk anak (Franklin pergi sekolah, Dora menolong teman), film VCD (HC Andersen, Discovery Channel, Harun Yahya, dll).



Bermain peran


Ajak anak memerankan tokoh yang ia sukai. Misalnya, tokoh angkatan bersenjata dalam operasi evakuasi penduduk. Ajarkan cara mengajak penduduk meninggalkan rumah karena ada gunung mau meletus (jika awalnya agak macet karena anak belum bisa ’pura-pura’ jadi orang lain, berilah contoh bagaimana berekspresi sesuai tokoh yang diperankan).


Kostum sesuai tokoh atau karakter (baju ABRI, baju pilot, dokter atau baju kelinci), atribut lain yang menunjang.



Mendengarkan lagu


Perdengarkan lagu yang bermanfaat untuk anak, misal ’lagu profesi’ (Tukang Pos, Aku Anak Kapiten, dll). Biasakan anak mengucapkan syair dan melagukan nada dengan benar. jika anak sudah hafal sebuah lagu, rekamlah agar ia bisa mendengar suaranya sendiri, merasa bangga dan senang mengulang-ulangnya.


Kaset lagu anak dan tape recorder, VCD lagu-lagu dan VCD Player.








pelatihan peningkatan kedisiplinan

BIARKAN ANAK BELAJAR MENERIMA KONSEKUENSI

Orangtua kerap tidak tega membiarkan anak menanggung konsekuensi perbuatannya, sehingga banyak ikut campur. Ini menyulitkan orangtua sendiri.

”Bermain air basah, bermain api hangus.” Masih ingatkah pada pepatah lama ini ? Benar, tiap perbuatan manusia memang selalu diikuti akibat. Datang terlambat di kantor ditegur. Telat bayar tagihan kartu kredit didenda. Kadang kita berusaha tidak peduli. Tapi setelah satu-dua kali tarantuk akibat-apalagi kalau akibatnya berat-biasanya kita jera.

Hal serupa berlaku di dunia anak-anak. Tulisan ini membahas bagaimana membuat anak mengambil pelajaran dari konsekuensi perbuatannya. Ada dua jenis konsekuensi tiap perbuatan : alamiah dan logis.

KONSEKUENSI ALAMIAH

Konsekuensi alamiah-baisanya berupa akibat langsung suatu perbuatan biasanya sanggup diterima anak serta tidak membahayakan fisik atau perasaannya. Misalnya, tidak mau makan bikin anak lapar. Tidak hati-hati memanjat bisa jatuh. Bangun kesiangan akibatnya terlambat ke sekolah.

Orangtua kerap tak tega membiarkan anak menanggung konsekuensi alamiah ini karena belenggu belief : kalau tidak makan jadi kurang gizi; kalau memanjat nanti jatuh. Padahal jika anak dibiarkan merasakan lapar, nafsu makannya mungkin jadi lebih besar. Setelah jatuh satu-dua kali, anak akan paham jatuh itu sakit sehingga berhati-hati memanjat. Ingat, makin keras tekanan anak agar mengikuti belief kita, makin kuat perlawanan (power struggle dan revenge) dan keputusasaan (helplessness). Makin cerewet kita, makin ’tebal’ telinga anak.

Lantas, apakah orangtua mesti lepas tangan dari semua perbuatan anak ? Tentu tidak. Batasannya sangat jelas. Bila anak bermain dengan sesuatu yang jelas-jelas bisa mencelakai fisik-misalnya arus listrik, setrika, kompor, pisau atau bahan kimia-orangtua perlu melarang. Dengan sedikit teknik self-interviewing (bertanya pada diri sendiri) orangtua bisa menilai perlu tidaknya mereka campur tangan dalam perbuatan anak.

KONSEKUENSI LOGIS

Kadang konsekuensi alamiah tak cukup efektif. Dalam hal ini orangtua bisa menerapkan konsekuensi logis. Konsekuensi logis sebetulnya merupakan serangkaian syarat yang dikehendaki orangtua. Syarat ini berhubungan dengan perbuatan anak, berpotensi meredakan masalah dan membuat anak jera. Efektif tidaknya syarat ini tergantung cara orangtua menjelaskannya kepada anak.

Penerapan konsekuensi logis biasanya berupa pemberian pilihan. Misalnya :

ü ”Kamu boleh pilih ; tidur siang atau tidak tidur siang untuk bikin PR sekarang ?”

ü ”Ayah mau mendengarkan berita di TV. Kalau mau bertengkar terus, bertengkarlah di luar. Kalau masih mau di dalam, main yang akur...”

ü ”PR-nya harus selesai sebelum nonton Sponge Bob, lho. Kalau belum selesai, apa boleh buat, nggak lihat Sponge Bob!”

ü ”Kalau sepeda tidak kamu simpan habis dipakai, Ayah akan kunci di gudang tiga hari baru boleh pakai lagi.”

ü ”Kalau kamu habiskan uang saku mingguan sebelum waktunya, nggak ada tambahkan lagi sampai minggu depan, ya.”

Konsekuensi logis membantu orangtua menghindarkan pola menghukum anak, dan sebaliknya membantu anak mengenali akibat pebuatannya. Dengan mengatakan ”kamu boleh pilih”-atau menyodorkan pilihan-orangtua sebenarnya memberi anak hak membuat keputusan (apa yang akan dipilih), sekaligus membiarkan anak belajar menerima konsekuensi pilihannya. Bagi anak sendiri, penetapan syarat membuatnya bisa menimbang perbuatan mana yang bisa ia toleransi akibatnya. Misalnya :

ü Jika mambuat PR lebih menyenangkan daripada tidur siang, anak mungkin memilih membuat PR. Jika tidur siang lebih enak ketimbang bikin PR, anak memilih mengerjakan PR sore hari setelah bangun dalam keadaan segar.

ü Karena segan pada ayah, anak yang tidak senang ’diusir’ keluar ruangan mungkin memilih berhenti bertengkar. Sedangkan anak yang masih penasaran bertengkar akan melakukannya di luar, seperti perintah ayah.

ü Jika anak berat melewatkan Sponge Bob, ia memilih membuat dan menyelesaikan PR secepatnya daripada berisiko tidak boleh nonton.

ü Daripada harus menunggu tiga hari untuk bisa main sepeda lagi, anak terdorong lebih tertib menyimpan sepeda tiap habis dipakai.

ü Tiap ingin memboroskan uang saku mingguannya, anak akan memikirkan risiko ’tongpes’ (kantong kempes)-tentu sepanjang orangtua konsisten tidak menambah uang saku meski ia merengek.

Menerapkan konsekuensi logis memang lebih sulit dibanding mengandalkan konsekuensi alamiah, karena orangtua harus membuat syarat yang masuk akal dan cukup memberi efek jera. Meski begitu, imbalannya ’sebanding’: konsekuensi logis memberi learning opportunity lebih banyak untuk anak. Selain itu, konsekuensi logis juga bekerja lebih baik dalam mengatasi perbedaan kepentingan antara orangtua dan anak sepanjang orangtua bisa menjelaskan dengan baik dan memberi pilihan yang masuk akal. Keep trying!

Daftar Pustaka :

Parents Guide. ”Positive Parenting Biarkan Anak Belajar Menerima Akibat Perbuatannya” Vol. III No. 6 Maret 2005. Jakarta.

pelatihan peningkatan kemandirian

MEMANDIRIKAN ANAK DALAM KEBIASAAN POSITIF BERARTI MERINGANKAN BEBAN ORANGTUA.
Pada kesempatan ini kita akan mempelajari cara membentuk kemandiriaan dan kebiasaan positif, lewat teknik shaping dan chaining. Tujuan utamanya adalah untuk meringankan tugas orang tua dalam menanamkan kebiasaan hidup positif pada anak.

Melalui teknik shaping dan chaining, anak diharapkan mampu memenuhi standar dalam hal kebiasaan hidup positif. Memang, pada awalnya kita akan memerlukan cukup banyak ’investasi’ kesabaran. Tapi percayalah, buah yang akan kita petik nantinya jauh lebih manis, karena tak perlu bolak-balik jengkel melihat anak bertindak tak sesuai harapan kita.

INTINYA : MEMECAH PERINTAH

Sesuai namanya, teknik shaping bertujuan membentuk anak agar mampu melakukan tugas sesuai standar dan prosedur yang kita tetapkan. Dengan contoh tahap demi tahap, anak akan memahami apa yang kita harapkan darinya, misalnya saat diperintahkan memakai baju atau membereskan kamar. Anak akan terbentuk menjadi individu yang mampu melakukan tugas sesuai harapan kita. Sedangkan teknik chaining bertujuan menanamkan konsep di benak anak tentang sekuens atau urutan kejadian. Dengan cara ini, anak bisa memahami kaitan antara satu tahap tugas dengan tahap lain. Oleh karena itu, ’tahap penyelesaian’ setiap tugas selalu diserahkan kepada anak. Cara ini juga dimaksudkan untuk memberi anak rasa percaya diri dan ’sensasi keberhasilan’.

Shaping cocok untuk anak yang lebih muda usianya, karena adanya pemberian contoh tahap demi tahap, sedangkan chaining sesuai untuk anak yang usianya lebih tua dan keterampilan motorik halusnya sudah lebih maju. Meski berbeda, kedua teknik ini sama-sama memerlukan banyak kesabaran. Kesabaran adalah investasi penting, terlebih saat anak berusia dini, untuk membentuk kemandirian anak kita langkah demi langkah.

Baik teknik shaping dan chaining bekerja seperti peta atau manual yang menuntun anak langkah demi langkah, sampai ia paham dan bisa lakukan sendiri tugasnya. Intinya, orang tua diminta memecah (breaking down) perintah menjadi potongan-potongan perintah yang lebih sederhana, detil, step by step. Dengan begitu anak mudah mengikutinya.

TIGA ATURAN

Yang harus kita perhatikan dalam memecah perintah adalah :

Buatlah anak paham betul maksud atau tujuan perintah. ”Kancingkan baju” atau ”talikan sepatu” akan lebih jelas dipahami anak daripada perintah ”pakai baju dan sepatu”, karena bisa saja anak hanya memasang baju dan sepatunya tapi tidak mau mengancingkan dan memasang talinya.

Sesuaikan harapan kita dengan kemampuan dan usia anak. Mengharapkan seorang anak usia 3 tahun bisa mengikat sepatu agak berlebihan. Tapi mengharapkan hal yang sama pada anak kelas 1 SD, adalah sesuatu yang masuk akal.

Rincilah aktivitas yang kita maksud sesuai urutan. Terhadap anak yang sudah besar rincian tentunya tak perlu detil, namun pada anak yang lebih kecil, makin detil sebuah rincian akan semakin membantu. Mari kita simak tabel berikut :

TUGAS SHAPING CHAINING

Memakai Baju

Tujuan : Memasang dan mengancingkan baju.

Rincian tugas :

u Pilih, ambil bju dari lemari.

u Masukkan lengan kanan, lalu lengan kiri.

u Samakan ujung bawah.

u Renggangkan lubang kancing terbawah, dorong kancing. Begitu terus sampai kancing teratas masuk ke lubangnya.

Beri contoh tahap demi tahap sampai anak bisa. Beri pujian bila anak selesai mengikuti tiap tahap. Tujuan dan rincian tugas sama dengan teknik shaping. Bedanya, dalam chaining kita harus membiarkan tahap terakhir dilakukan sendiri oleh anak. Hal ini penting untuk memberi sensasi keberhasilan pada anak.

Beri contoh tahap demi tahap, kecuali tahap terakhir yang harus dilakukan anak. Bimbing anak mengancing baju sampai dua kancing terakhir. Katakan, ”Nah, coba sisanya kancingkan sendiri”. Bila anak berhasil, pujilah, ”Wah pintar, kamu bisa pakai baju sendiri”.

Membereskan Kamar

Tujuan dan rincian tugas sama dengan chaining.

Contohkan dan bantu anak dari tahap ke tahap, hingga selesai. Beri pujian.

Tujuan : Menempatkan kembali semua barang di kotak/rak masing-masing.

Rincian tugas :

u Masukkan mobil-mobilan di keranjang mainan.

u Masukkan semua balok danlego di keranjang balok.

u Masukkan alat gambar dan kertas di kotak lukis.

u Letakkan boneka di raknya.

u Susun buku di rak buku.

Contohkan dan bantu anak tahap demi tahap, kecuali bagian terakhir yang memang lebih sulit. Tunjukkan cara menyusun buku secara berdiri dan berhimpitan agar tidak ambruk, lalu biarkan anak melanjutkan. Jangan lupa memuji.

Penutup : Jadilah Role Model !

Nasehat yang baik bukanlah kata-kata mutiara, tapi tindakan nyata. Sifat-sifat positif seperti rajin, suka menolong dan rapi, tidak diturunkan secara biologis melainkan dipelajari anak dari lingkungan terdekatnya. Teknik shaping dan chaining dengan gamblang menunjukkan, betapa penting orang tua sebagai role model anak. Akan terasa janggal bagi anak, jika kita menyuruh melakukan segala hal positif tanpa menampakkan perilaku yang sama. Misalnya, bolak-balik berseru ”Jangan nonton TV melulu!” tapi kita sendiri gemar nonton TV di kamar tidur. Selalu menasehati ”Kamu harus giat belajar, supaya berhasil!” tapi kita sendiri lebih giat bergosip atau cuci mata ketimbang melakukan kegiatan prodktif.

Apa yang anak lihat dari orang tuanya, itulah yang akan dilekatkan menjadi karakternya. Jadi, mari kita didik diri sendiri dengan kebiasaan-kebiasaan positif sebelum – setidaknya sambil – mendidik anak memiliki kebiasaan yang sama. Buah apel tak akan jatuh jauh dari pohonya. Air cucuran atap jatuhnya pun ke pelimbahan juga. Positive parents raise positive children.

pelatihan peningkatan ritme kerja anak

BAHWA BERLAMBAT LAMBAT ADALAH BAGIAN NORMAL PERKEMBANGAN ANAK KECIL (CynthiaWhittham)kadang orang tua harus rileks dan menerimanya, karena prilaku ini akan membaik ketika anak lebih besar, namun kalau dibiarkan tak akan menyelesaikan apa apa kecuali sidikit saja.

Secara spesifik ada yang mangaitkan prilaku suka berlambat lambat ini dengan tempramen, anak yang tempramen mudah terganggu akan menghabiskan banyak waktu untuk berlambat lambat. Tipe anak yang berlambat lambat tak bakal menyelesaikan banyak hal jika dibiarkan sesuka hatinya, alasannya ada dua, pertama ia tidak punya energi alami untuk bergerak cepat menyelesaikan segala seesuatu sebanyak anak lain. Kedua jika tugasnya kelihatan susah misalnya berpakaian, ia jadi cepat kecil hati.

Ada beberapa cara untuk menghadapi anak yang suka berlambat lambat.

· Ajarkan anak membaca jam atau menandai waktu

Untuk jam tak usah rumit rumit misalnya, ia harus siap ketika jarum panjang menunjukan angka 4, atau dengan hitungan misalnya, kakak sudah selesai mengancingkan baju pada hitungan ke 10 atau mungkin dengan tepukan.

· Hindarkan menginterupsi, kecuali benar benar diperlukan.

Terlalu menginterupsi “Ayo cepat” bisa membuat anak gusar. Kegusarannya ditunjukan dengan sikap membangkang (sengaja memperlambat gerakya). Kalau anak memang kelewatan lambatnya beri dia peringatan bahwakegiatan berikutnya sudah menunggu

· Berilah pujian

“hebat kamu tepat waktu” jika anak bergerak cepat, bertindak efisien

· Berilah bintang

Tentu sebelumnya buat dulu kesepakatan bahwa jika telah mengumpulkan jumlah ttu maka dapat ditukarkan dengan hadiah ttu

· Beri perhatian positif lebih sering

Perhatian positip adalah perhatian yang diberikan terhadap prilaku positif.

Perhatian negatif biasanya kita berikan dalam jumlah lebih banyak. Contoh: kenapa sih kamu selalu lambat? Ibu kan capek bolak-balik mengingatkan!” (kalimat ini terdiri dari 10 kata) sementara, perhatian positip biasanya lebih pendek. Contoh: ‘’wah, hebat! Kamu tepat waktu!’’ (kalimat ini hanya terdiri dari 5 kata). Kesenjangan ini biasanya dikurangi atau dihilangkan, jika kita memberi perhatian positip lebih sering.

· Hati hati memberi lebel negatif

‘Kamu ini lelet sekali..!” Lebel negatif ini akan melekat dipikiran anak shg anak menganggap dirinya selalu lelet, hal ini menghambat motivasi anakl untuk memperbaiki diri.

· Biarkan ‘mata ‘ bicara

Beberapa anak seolah kebal terhadap peringatan maka sesekali temui dan tatap matanya baru sampaikan peringatan

· Intropeksi

Apakah kita orangtua tipe yang tidak sabaran. Atau apakah kita terlalu banyak pekerjaan shg merasa kewalahan? Berarti kitalah yang harus memperlambat sedikit irama kita, bukan memaksa anak mengikuti irama kita

· Diskusi rencana kegiatan anak

Ananda usia TKB sudah mengerti jika ditanya,”hari ini sesudah makan apa rencanamu? Hmm..mau main lego sama mewarnai buku warna…Terus bagaimana mengaturnya?” Cara ini menumbuhkan rasa tg jwb anak untuk menyelesaikan tugasnya.