Glitter Words

Tuesday, February 27, 2007

pelatihan peningkatan kedisiplinan

BIARKAN ANAK BELAJAR MENERIMA KONSEKUENSI

Orangtua kerap tidak tega membiarkan anak menanggung konsekuensi perbuatannya, sehingga banyak ikut campur. Ini menyulitkan orangtua sendiri.

”Bermain air basah, bermain api hangus.” Masih ingatkah pada pepatah lama ini ? Benar, tiap perbuatan manusia memang selalu diikuti akibat. Datang terlambat di kantor ditegur. Telat bayar tagihan kartu kredit didenda. Kadang kita berusaha tidak peduli. Tapi setelah satu-dua kali tarantuk akibat-apalagi kalau akibatnya berat-biasanya kita jera.

Hal serupa berlaku di dunia anak-anak. Tulisan ini membahas bagaimana membuat anak mengambil pelajaran dari konsekuensi perbuatannya. Ada dua jenis konsekuensi tiap perbuatan : alamiah dan logis.

KONSEKUENSI ALAMIAH

Konsekuensi alamiah-baisanya berupa akibat langsung suatu perbuatan biasanya sanggup diterima anak serta tidak membahayakan fisik atau perasaannya. Misalnya, tidak mau makan bikin anak lapar. Tidak hati-hati memanjat bisa jatuh. Bangun kesiangan akibatnya terlambat ke sekolah.

Orangtua kerap tak tega membiarkan anak menanggung konsekuensi alamiah ini karena belenggu belief : kalau tidak makan jadi kurang gizi; kalau memanjat nanti jatuh. Padahal jika anak dibiarkan merasakan lapar, nafsu makannya mungkin jadi lebih besar. Setelah jatuh satu-dua kali, anak akan paham jatuh itu sakit sehingga berhati-hati memanjat. Ingat, makin keras tekanan anak agar mengikuti belief kita, makin kuat perlawanan (power struggle dan revenge) dan keputusasaan (helplessness). Makin cerewet kita, makin ’tebal’ telinga anak.

Lantas, apakah orangtua mesti lepas tangan dari semua perbuatan anak ? Tentu tidak. Batasannya sangat jelas. Bila anak bermain dengan sesuatu yang jelas-jelas bisa mencelakai fisik-misalnya arus listrik, setrika, kompor, pisau atau bahan kimia-orangtua perlu melarang. Dengan sedikit teknik self-interviewing (bertanya pada diri sendiri) orangtua bisa menilai perlu tidaknya mereka campur tangan dalam perbuatan anak.

KONSEKUENSI LOGIS

Kadang konsekuensi alamiah tak cukup efektif. Dalam hal ini orangtua bisa menerapkan konsekuensi logis. Konsekuensi logis sebetulnya merupakan serangkaian syarat yang dikehendaki orangtua. Syarat ini berhubungan dengan perbuatan anak, berpotensi meredakan masalah dan membuat anak jera. Efektif tidaknya syarat ini tergantung cara orangtua menjelaskannya kepada anak.

Penerapan konsekuensi logis biasanya berupa pemberian pilihan. Misalnya :

ü ”Kamu boleh pilih ; tidur siang atau tidak tidur siang untuk bikin PR sekarang ?”

ü ”Ayah mau mendengarkan berita di TV. Kalau mau bertengkar terus, bertengkarlah di luar. Kalau masih mau di dalam, main yang akur...”

ü ”PR-nya harus selesai sebelum nonton Sponge Bob, lho. Kalau belum selesai, apa boleh buat, nggak lihat Sponge Bob!”

ü ”Kalau sepeda tidak kamu simpan habis dipakai, Ayah akan kunci di gudang tiga hari baru boleh pakai lagi.”

ü ”Kalau kamu habiskan uang saku mingguan sebelum waktunya, nggak ada tambahkan lagi sampai minggu depan, ya.”

Konsekuensi logis membantu orangtua menghindarkan pola menghukum anak, dan sebaliknya membantu anak mengenali akibat pebuatannya. Dengan mengatakan ”kamu boleh pilih”-atau menyodorkan pilihan-orangtua sebenarnya memberi anak hak membuat keputusan (apa yang akan dipilih), sekaligus membiarkan anak belajar menerima konsekuensi pilihannya. Bagi anak sendiri, penetapan syarat membuatnya bisa menimbang perbuatan mana yang bisa ia toleransi akibatnya. Misalnya :

ü Jika mambuat PR lebih menyenangkan daripada tidur siang, anak mungkin memilih membuat PR. Jika tidur siang lebih enak ketimbang bikin PR, anak memilih mengerjakan PR sore hari setelah bangun dalam keadaan segar.

ü Karena segan pada ayah, anak yang tidak senang ’diusir’ keluar ruangan mungkin memilih berhenti bertengkar. Sedangkan anak yang masih penasaran bertengkar akan melakukannya di luar, seperti perintah ayah.

ü Jika anak berat melewatkan Sponge Bob, ia memilih membuat dan menyelesaikan PR secepatnya daripada berisiko tidak boleh nonton.

ü Daripada harus menunggu tiga hari untuk bisa main sepeda lagi, anak terdorong lebih tertib menyimpan sepeda tiap habis dipakai.

ü Tiap ingin memboroskan uang saku mingguannya, anak akan memikirkan risiko ’tongpes’ (kantong kempes)-tentu sepanjang orangtua konsisten tidak menambah uang saku meski ia merengek.

Menerapkan konsekuensi logis memang lebih sulit dibanding mengandalkan konsekuensi alamiah, karena orangtua harus membuat syarat yang masuk akal dan cukup memberi efek jera. Meski begitu, imbalannya ’sebanding’: konsekuensi logis memberi learning opportunity lebih banyak untuk anak. Selain itu, konsekuensi logis juga bekerja lebih baik dalam mengatasi perbedaan kepentingan antara orangtua dan anak sepanjang orangtua bisa menjelaskan dengan baik dan memberi pilihan yang masuk akal. Keep trying!

Daftar Pustaka :

Parents Guide. ”Positive Parenting Biarkan Anak Belajar Menerima Akibat Perbuatannya” Vol. III No. 6 Maret 2005. Jakarta.

No comments: